Powered By Blogger

Kamis, 27 Juni 2013

Strategi Nasional Akses terhadap Keadilan (Stranas).


Indonesia telah menjalankan berbagai upaya reformasi hukum dan kelembagaan yang bertujuan untuk menciptakan lembaga penegakan hukum yang mampu menghasilkan pemerintahan yang bersih. Adanya penyelenggaraan kemandirian yudisial melalui yang disebut dengan ”peradilan satu atap”, pengenalan hak menguji undang-undang melalui Mahkamah Konstitusi, dan terbentuknya berbagai peradilan khusus dan komisi pengawas terhadap lembaga yudisial, kejaksaan, dan kepolisian, merupakan perubahan dalam skala yang besar. 


Kendati adanya skala reformasi dan investasi yang berarti dari donor, usaha yang berkesinambungan tetaplah diperlukan untuk menjamin bahwa perubahan kelembagaan tersebut dapat membawa keadilan lebih dekat kepada masyarakat. Tingginya apatisme masyarakat terhadap sistem hukum formal menyebabkan masyarakat lebih memilih sistem keadilan informal, yang mana seringkali bersifat diskriminatif serta tidak sejalan dengan jaminan konstitusional terhadap HAM. Lembaga penegakan hukum masih menghadapi tantangan untuk menyelesaikan atau mencegah masalah yang serius yang berpengaruh terhadap berjalannya pemerintahan lokal serta pengembangan perekonomian.



Pada kenyataannya, inisiatif untuk mereformasi lembaga penegakan hukum lebih banyak berfokus pada lembaga negara formal. Akan tetapi, keadilan bukanlah semata-mata berada dalam ranah negara. Pemimpin desa dan adat yang merupakan aktor penyelesaian sengketa alternatif utama di Indonesia, memainkan peranan aktif terhadap lebih dari 75% sengketa. Namun, institusi tersebut telah dipasung selama 30 tahun di bawah pemerintahan yang sangat sentralistik. Kebutuhan untuk memperoleh keadilan bagi kelompok yang terpinggirkan, khususnya minoritas etnis dan agama serta perempuan, seringkali tidak diperhatikan dalam sistem penyelesaian sengketa di tingkat desa. Hal ini tentunya membutuhkan dukungan dan perhatian lebih.

Kejahatan, konflik tanah, dan sengketa keluarga merupakan tiga jenis sengketa yang paling lazim dilaporkan oleh masyarakat. Ketiga isu yang terkait dengan lembaga penegakan hukum tersebut berpengaruh terhadap mata pencaharian masyarakat Indonesia sehari-hari. Karena itu, amatlah penting untuk mengatasinya secara serempak baik dalam waktu yang lebih panjang melalui reformasi lembaga penegakan hukum dengan skala yang lebih luas maupun melalui pelaksanaan segera program-program yang memungkinkan komunitas rentan untuk dapat menegakkan hak-hak dan mempertahankan mata pencaharian mereka. Penyediaan layanan hukum bagi masyarakat miskin, rentan, dan marjinal, berguna untuk membangun dukungan publik terhadap permintaan reformasi hukum serta berperan terhadap proses perubahan yang sistematis dari bawah.

Pemerintah Indonesia telah mengembangkan Strategi Nasional Akses terhadap Keadilan (Stranas). Strategi ini mencoba menguji betapa persoalan-persoalan yang berhubungan dengan negara hukum (rule of law) memiliki keterkaitan dengan kemiskinan. Stranas meyoroti sebuah pendekatan yang memperkuat masyarakat miskin untuk menyadari hak-hak dasar mereka, baik melalui mekanisme formal maupun informal, sebagai sebuah cara untuk mengentaskan kemiskinan. Stranas juga menekankan bahwa reformasi penegakan hukum membutuhkan tidak hanya solusi teknis hukum semata, namun juga pendekatan sosio-politik.


  1. Keberagaman tradisi hukum menciptakan kompleksitas yang berdampak pada isu-isu aksesibilitas dan   keadilan. 
  2. Penguatan mekanisme akuntabilitas, termasuk dalam struktur pemerintahan lokal.
  3. Kesadaran hukum dan akses informasi hukum.
  4. Memajukan pengembangan kepastian hukum dan kebijakan berbasis pengalaman.

Cita-cita hukum dalam menciptakan keadilan

Cita-cita hukum dalam menciptakan keadilan
Perkembangan hukum di Indonesia saat ini cukup terasa, seiring  pertumbuhan penduduk dan perkembangan sosial kemasyarakatan. Berbagai macam penyakit masyarakat yang menuntut dan mengharuskan hukum bergerak maju sebagai pengendali social untuk menjadi garda terdepan dalam menciptakan masyarakat yang tertib, maju dan sejahtera.  Perkembangan hukum itu sendiri ditandai dengan perkembangan komponen hukum itu sendiri, dari segi Perangkat Hukum, yakni lahirnya berbagai macam produk hukum baru dan bersifat khusus (lex spesialis), misalnya : Undang-undang no 31 tahun 1999 sebagai mana telah di ubah menjadi Undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang Pemeberantasan Tindak Pidana korupsi. Dari segi Kelembagaan Hukum yakni lahirnya Lembaga penegakkan Hukum yang Independen dan punya kewenangan khusus misalnya Komisi Pemberantasan korupsi, serta Aparatur Hukum dan Budaya Hukum.
Perkembangan hukum di Indonesia menimbulkan berbagai reaksi dari sudut pandang yang berbeda-beda. Reaksi ini tidak terlepas dari berbagai faktor baik dari dalam lembaga penegak hukum itu sendiri maupun pengaruh dari luar. Ketidak profesionalisme para aparat penegak hukum itu sendiri yang menciderai wibawa hukum di Indonesia, baik sifat Arogansi sampai keterlibatan penegak hukum dalam kasus hukum yang sedang di tanganinya. Perilaku aparat penegak hukum yang demikian seyogianya wajib dilenyapkan dari NKRI yang berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Jika dalam dunia perdagangan pembeli adalah Tuan, motto inilah yang seharusnya di terapkan oleh aparat penegak hukum, “Masyarakat adalah Tuan”. Bukankah karena keberadaan masyarakat, ia baru ada? Bukankah tugasnya untuk kepentingan masyarakat?
Saat ini Hukum di Indonesia juga di pengaruhi oleh kekuatan politik, perang kepentingan politik berimbas kepada penegakkan hukum yang tidak berpihak kepada kepentingan umum atau masyarakat luas, keprihatinan masyarakat atas kasu-kasus yang terjadi baik yang sedang di proses oleh aparat penegak hukum maupun yang telah selesai di proses dan mendapat kekuatan hukum tetap berdampak kepada kurangnya tingkat kepercayaan masyarakat kepada aparat penegak hukum, yang berakibat kepada tindakan Main hakim sendiri (Eigen Rechting) atas apa yang menurutnya mengganggu kepentingan pribadi ataupun kelompoknya.
Hal lain yang mempengaruhi citra dan pandangan masyarakat terhadap penegakkan hukum adalah pemberitaan oleh media yang tidak berimbang kepada publik. Media sebagai pilar demokrasi yang mempunyai tugas memenuhi kebutuhan masyarakat akan informasi dan pengetahuan haruslah patuh kepada nilai dan azas hukum. Dalam realita sehari-hari Media terkesan menciptakan satu peradilan publik yang membentuk satu opini publik yang bebas memvonis orang salah atau benar tanpa melalui prosedur yang di atur dalam perundang-undangan, hal ini bertentangan dengan azas praduga tak bersalah (presumption of innocence). Azas ini di tujukan ke arah tegaknya hukum, keadilan, perlindungan harkat dan martabat manusia, ketertiban dan kepastian hukum.
Cita-cita hukum dalam menciptakan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum masih sebatas teori dan mimpi saja, aturan hukum dan penerapan hukum sudah tidak sesuai lagi. Tidaklah seluruhnya salah jika ada kalimat : “Manisnya dosa, pahitnya perjuangan” demi Keadilan di Tanah Airku.

Pembaruan Hukum Dalam Politik Hukum Nasional

Pembaruan Hukum Dalam Politik Hukum Nasional
            Menurut UU Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025, yang oleh undang-undang tersebut diringkas RPJP Nasional 2005-2025. Menurut RPJP Nasional 2005-2025 pembangunan hukum dilaksanakan melalui : “Pembaruan materi hukum dengan tetap memperhatikan kemajemukan tatanan hukum yang berlaku dan pengaruh globalisasi sebagai upaya untuk meningkatkan kepastian dan perlindungan hukum, penegakan hukum dan hak-hak asasi manusia, kesadaran hukum, serta pelayanan hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran, ketertiban dan kesejahteraan dalam rangka penyelenggaraan negara yang makin tertib, teratur, lancar, serta berdaya saing global” Pada bagian lain pernyataan seperti ini muncul lagi dengan perubahan sedikit kata (ditandai dengan cetak tebal) seperti dibawah ini : “Pembangunan hukum dilaksanakan melalui pembaruan hukum dengan tetap memperhatikan kemajemukan tatanan hukum yang berlaku dan pengaruh globalisasi sebagai upaya untuk meningkatkan kepastian dan perlindungan hukum, penegakan hukum dan hak-hak asasi manusia, kesadaran hukum, serta pelayanan hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran, ketertiban dan kesejahteraan dalam rangka penyelenggaraan negara yang makin tertib dan teratur, sehingga penyelenggaraan pembangunan nasional akan makin lancar”. Pada bagian lain ada pula pernyataan yang berbunyi : “Pembangunan materi hukum diarahkan untuk melanjutkan pembaruan produk hukum untuk menggantikan peraturan perundang-undangan warisan kolonial yang mencerminkan nilai-nilai sosial dan kepentingan masyarakat Indonesia.                                                                                                   
Kutipan-kutipan di atas ini menggambarkan RPJP Nasional 2005-2025 menghendaki adanya pembaruan hukum, terutama dalam bentuk pembaruan materi hukum, yang maksudnya tidak lain ialah pembaruan peraturan perundang-undangan. Hal ini dibuktikan dengan sering munculnya undang-undang baru yang merevisi undang-undang sebelumnya.
Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 hakim diberi kewenangan mutlak untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dalam praktek, pembaruan hukum berdasarkan PHN juga terlihat dari beberapa peraturan perundang-undangan yang direvisi, antara lain undang-undang tentang kekuasaan kehakiman dan beberapa undang-undang tentang peradilan di lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, dan Peradilan Tata Usaha Negara.

Hukum di Indonesia saat ini

Hukum di Indonesia saat ini
Hukum yang digunakan di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum-hukum yang ada di Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Hukum perdata dan pidana berbasis pada hukum Eropa konntinental, khususnya dari belanda karena wilayah Indonesia dulunya adalah wilayah jajahan Belanda. Masa-masa tersebut memberikan pengaruh terhadap hukum di Indonesia hingga kini. Kemudian hukum Agama karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari’at Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Yang terakhir adalah hukum Adat yang diserap oleh perundang-undangan atau yurisprudensi yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wiliyah Nusantara.  
Berbicara mengenai hukum di Indonesia saat ini, maka hal pertama yang tergambar ialahketidakadilan. Sungguh ironis ketika mendengar seorang yang mencuri buah dari kebun tetangganya karena lapar harus dihukum kurungan penjara, sedangkan para pihak yang jelas-jelas bersalah seperti koruptor yang merajalela di negara ini justru dengan bebas berlalu lalang di pemerintahan, bahkan menempati posisi yang berpengaruh terhadap kemajuan dan perkembangan negara kita ini. jika pun ada yang tertangkap, mereka justru mendapatkan fasilitas yang tidak seharusnya mereka peroleh.
            Kasus yang lain seperti seorang maling ayam yang harus dijatuhi hukuman kurungan penjara dalam hitungan tahun. Ini sangat berbeda dengan para pejabat pemerintah atau mereka yang mempunyai banyak uang yang memang secara hukum terbukti bersalah namun dengan mudahnya membeli keadilan dan mempermainkan hukum sesuka mereka. Keduanya dalam kondisi yang sama namun dapat kita lihat bagaimanakah hukum itu berjalan dan dimanakah hukum itu berlaku.
            Contoh diatas adalah sebagian kecil dari hal-hal yang terjadi disekitar kita. Namun dari hal tersebut yang akhirnya membuat orang-orang di negara ini akan mengambarkan bahwa hukum negara kita tidak adil. Di masyarakat pun sudah tidak asing lagi dengan pernyataan bahwa “hukum Indonesia runcing kebawah tapi tumpul keatas.

Rabu, 26 Juni 2013

Tidak Bermain-main dengan waktu”

KMMSAJ: Hakim PN Jakarta Pusat diharapkan “Tidak Bermain-main dengan waktu” dalam Memutus perkara Gugatan

putusan sela
Jakarta, Khatuliwanews.com – Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ) dengan Serikat Pekerja Air Indonesia (SPAI) dan Serikat Pekerja Air Jakarta (SPAJ) mengkhawatirkan adanya penundaan waktu pengambilan keputusan sela oleh Majelis Hakim PN Jakarta Pusat terhadap eksepsi kompetensi absolut yang diajukan tergugat I (Presiden RI), II (Wakil Presiden RI),III (Kementrian Keuangan ), IV (Kementran Pekerjaan Umum), Turut Tergugat I (PT. Palyja) dan II (PT. Aetra) dalam perkara No: 527/PDT.G/2012/PN.JKT.PST. Seharusnya putusan sela diambil tanggal Selasa, 18 Juni 2013, dua minggu setelah sidang terakhir yakni tanggal 3 Juni 2013. Namun dengan alasan, belum memperoleh kesepahaman antara majelis, hakim ketua meminta penundaan waktu hingga tanggal 25 Juni 2013.

Kekhawatiran KMMSAJ dengan Serikat Pekerja didasarkan pada adanya penundaan waktu membuat putusan sela akan semakin memperlambat proses pemeriksaan perkara persidangan dan terus malanggengkan pelanggaran hukum yang terjadi dalam kontrak swastanisasi air di Jakarta. Selain itu, pengalaman peradilan di Indonesia menunjukkan, penundaan waktu membuka ruang “mafia peradilan” bermain. Terlebih, apabila eksepsi tergugat dalam perkara in dikabulkan, maka ruang pengadilan untuk membuka kepada publik aib ketidakdilan kontrak dan buruknya swastanisasi air di Jakarta akan terhambat dan tertunda. Padahal sidang sudah berjalan enam bulan termasuk proses mediasi. Berikut siaran perss yang di terima pihak Khatulistiwanews.com (Rabu, 26/06/2013).

“Saya memahami kekhawatiran kawan-Kawan, majelis hakim PN Jakarta Pusat dalam perkara ini mungkin saja memutus secara tidak obyektif. Meskipun demikian saya masih optimis hakim akan berhati-hati dan memutus pekara ini berdasarkan rasa keadilan masyarakat. Mengingat mereka diawasi publik dan lembaga terkait. Terlebih pengalaman gugatan warga negara terdahulu dalam kasus Buruh Migran Nunukan ( 2004) , Ujian Nasional (2006), Jaminan Sosial (2011), hakim di Pengadilan Negari Jakarta Pusat menerima argumentasi gugatan warga negara “, kata Arif Maulana kuasa hukum dari 12 warga masyarakat yang mengajukan gugatan pembatalan kontrak swastanisasi air Jakarta melalui Gugatan Warga Negara dalam Konferensi Pers bersama antara Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta dengan Serikat Pekerja Air Indonesia dan Serikat Pekerja Air Jakarta di Kantor LBH Jakarta, Senin (24/6).

“Gugatan ini kami buat karena perjanjian swastanisasi air antara PDAM Jakarta dengan dua swasta asing, PT.Palyja dan Aetra telah melanggar konstitusi dan peraturan perundang-undangan terkait pengelolaan air. Dampak riilnya sangat merugikan masyarakat dan pelanggan air minum diJakarta, sepanjang kontrak ini masih berlangsung warga miskin Jakarta akan kesulitan mendapatkan pelayanan air minum,” tambah Arif.

Dalam kontrak privatisasi air Jakarta memang PAM JAYA selaku BUMD milik Pemerintah Provinsi harus menutup selisih tarif air masyarakat berpenghasilan rendah yang Rp 1.050 – Rp 3.500 per meter kubik dengan harga air yang dipatok swasta yang sebesar kurang lebih Rp 7.000 per meter kubik. Selisih ini harus bisa ditutupoleh PAM JAYA kalau tidak maka akan menjadi hutang PAM JAYA. Semakin banyak air yang disalurkan kemasyarakat miskin pasti selisih yang harus ditanggung PAM JAYA dan berubah menjadi hutang PAM JAYA kepada PT PALYJA dan PT AETRA ini tentu saja akan makin besar.

Zainal Abidin mewakili Serikat Pekerja Air Jakarta (SPAJ) menyatakan, “Kalau tidak ada swasta tentu saja Gubernur dengan mudah dapat membayar selisih ini sebagai subsidi pemerintah kepada rakyatnya untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya. Tapi dengan adanya swasta, Jokowi sekalipun tidak bisa menyalurkan bantuan kepada penduduk Jakarta yang kesulitan air. Kami juga heran bagaimana mungkin Presiden, Wakil Presiden, Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri Keuangan justru bergabung dengan perusahaan swasta meminta kasus ini tidak disidangkan “.

Zaenal Abidin, selaku Ketua Serikat Pekerja Air Jakarta, betul-betul berharap majelis hakim mendengarkan hati nuraninya dan memperhatikan rasa keadilan masyarakat. “Ini perkara yang menyangkut hajat hidup jutaan orang, menyangkut hak azasi manusia. Kalau PN Jakarta Pusat besok menolak mengadili perkara ini kemana kami penduduk Jakarta harus mencari keadilan?”

“Malu kita dengan dunia internasional yang memantau perkara ini. Di puluhan kota di berbagai negara lain kontrak privatisasi air telah banyak yang diputus, terlebih kontraknya sangat merugikan warga Jakarta”, tambah Muhammad Reza dari Koalisi Rakyat Untuk hak Atas Air (KRUHA).”Kami juga mengharapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Komisi Yudisial (KY) terus akif memantau persidangan dan keseluruhan prosesnya. Kami sangat khawatir “mafia peradilan” berhasil masuk ke pengadilan”.

Reza juga mengharapkan majelis hakim memperhatikan potensi kerugian pemerintah berupa hutang kepada swasta apabila kontrak ini tidak diputus. Dimana apabila dilanjutkan terus sampai 2023 sesuai periode kontrak maka kerugian pemerintah akan mencapai Rp. 18,2 triliun atau tiga kali lipat kerugian Negara akibat kasus Century.

“Kami ini berasal dari Serikat Pekerja, karyawan PAM JAYA yang diperbantukan kepada swasta, kalau kami bicara bahwa kontrak ini merugikan masyarakat dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, itu karena kami tahu. Kami telah bekerja di PT PALYJA dan PT AETRA selama 16 tahun, kami tahu bagaimana perusahaan ini bekerja. Karena kami tahulah maka kami berani menyatakan dukungan pada gugatan ini”, Pungkas Zainal.

Negara Kekuasaan dan Negara Hukum...

Dampak dari negara kekuasaan adalah tidak berjalanan penegakan supremasi hukum secara independen, hal ini akan menyebabkan intervensi dalam penegakan hukum dari pemegang kekuasaan untuk melanggengkan kekuasaan...cara-cara ini tidak jauh berbeda dengan masa orde baru, dimana cara-cara militerisme dijadikan alat untuk melanggengkan sistem kekuasaan dan poltik..hari ini caranya lebih maju dengan alasan penyesuain demokrasi,tp secara subtansi logika menjaga kekuasaan agar tetap berjalan dengan baik maka alat negara digunakan sebagai senjata...